14 Januari 2010

Mempersoalkan Keadilan Tuhan

Diskusi Kasus


Kebenaran tidak dapat ditimbun. Yang ditimbun akan hancur kembali; ia akan melapuk. Kebenaran tidak dapat lapuk, oleh karena ia ditemukan dari saat ke saat di dalam setiap pikiran, di dalam setiap hubungan, di dalam setiap kata, di dalam setiap isyarat tubuh, di dalam seulas senyum, di dalam air mata. Dan jika Anda dan saya dapat menemukannya dan hidup bersamanya - hidup bersamanya adalah menemukannya--maka kita tidak akan menjadi propagandis, kita akan menjadi manusia yang kreatif--bukan manusia sempurna, melainkan manusia kreatif, yang sama sekali lain.



"DINA"


Cerita tua ini dimulai ketika Dina berkunjung ke negeri yang diperintah Hamor. Syahdan, putra Hamor, Shekkem namanya, melihat gadis ini dan hati anak muda itu tergerak. Disergapnya Dina, dan diperkosanya gadis itu. Tapi apa hendak dikata: Shekkem ternyata tidak hanya melampiaskan nafsu; ia jatuh cinta. Kepada Dina ia sampaikan kata-katanya yang menghibur dan tulus. Kepada ayahnya sendiri Shekkem berkata: "Aku ingin menjadikan perempuan ini istriku."


Maka Hamor pun datang ke orang tua Dina, Yakub. Ia meminang. "Mari kita bentuk persekutuan perkawinan: Tuan berikan putri Tuan, dan kami berikan putra kami, dan kita selesaikan persoalan kita." Namun perdamaian tak terjadi, dan persoalan tidak tuntas. Para putra Yakub masih merasa marah bahwa Shekkem telah menggagahi adik perempuan mereka. Inilah jawaban mereka kepada Yakub : "Kami tidak bisa memberikan adik kami kepada kaum yang belum disunat."


Dan mereka pun memberi syarat, dan dengan itulah mereka mengatur akal. Lamaran Hamor dan Shekkem akan diterima jika semua laki-laki di negeri itu memotong kulup kelaminnya, sebagaimana diwajibkan bagi orang-orang Yahudi. Syarat itu diterima oleh Hamor dan anaknya dengan senang hati. Maka segera saja semua laki-laki di tanah yang diperintah Hamor pun disunat. Tetapi pada hari ketiga, ketika orang-orang itu masih menanggungkan rasa sakit di ujung kemaluan mereka, dua orang putra Yakub menyiapkan sesuatu yang tak disangka-sangka. Dengan pedang terhunus, mereka memasuki kota. Mereka temui tiap laki-laki kota itu yang sedang dalam keadaan tak berdaya itu, mereka bunuh. Lalu tak lama kemudian anak-anak Yakub yang lain menyerbu. Mereka menjarah kota itu. Domba, lembu, keledai, semua yang ada dalam rumah, juga anak-anak dan para istri, disita.


Cerita ini tak akan menimbulkan problem besar seandainya para pelakunya adalah orang lumrah. Tetapi mereka tak sembarangan: mereka adalah anak-anak Yakub. Yakub, dalam cerita itu, menyesali anak-anaknya bukan karena perbuatan mereka terkutuk, melainkan karena membuat posisinya secara taktis sulit. Bagaimana mungkin Kitab Suci itu di kalangan Kristen disebut Perjanjian Lama menceritakan dengan tanpa risih laku yang licik dan brutal orang-orang pilihan Tuhan itu? Siapkah Tuhan dengan dalih untuk membiarkan sebuah sikap yang sewenang-wenang: seluruh laki-laki kota itu dibantai, sementara hanya anak Hamor yang bersalah?

Para penafsir Kitab Suci umumnya berhenti di sini. Mereka tak hendak mencemarkan nama para penegak agama, dan tak hendak merumitkan soal Tuhan dan keadilan-Nya. Mereka mencoba memberi pembelaan. Pemikir Yahudi terkemuka yang hidup delapan abad yang lalu, Maimonides, menjelaskan bahwa pembantaian rakyat Hamor itu bisa dibenarkan karena mereka tak menghukum si pemerkosa. Tapi benarkah sikap pasif itu layak mendapatkan hukum bunuh? Bukankah bahkan fikih agama Yahudi sendiri tak menghukum mati seorang pemerkosa?

Maimonides, dalam hal ini, adalah seorang apologis, dan bagi seorang apologis, Kitab Suci adalah sebuah hagiografi, kisah hidup orang-orang yang dipuja-puja. Tapi tak mudah bagi seorang penafsir masa kini untuk menilai kekejaman atas Hamor dan rakyatnya bukan sebagai noda besar para patriakh. Alan M. Dershowitz, guru besar ilmu hukum di Universitas Harvard, menulis sebuah tafsir lain dan ia menegaskan: "Para komentator yang tak melihat kekejian dalam tindakan para pahlawan Kitab Suci itu berarti telah meremehkan keadilan."

Buku Dershowitz, The Genesis of Justice, bahkan menjangkau lebih jauh. Dengan argumen yang jernih, bisa kocak, dan tajam, Dershowitz juga menunjukkan bahwa Tuhan dalam Genesis (Kitab Kejadian) berada dalam posisi yang tak jauh dari manusia: tak sempurna dalam masalah keadilan. Ia telah membinasakan siapa saja, sadar bersalah atau tidak, dalam banjir di masa Nuh. Ia menitahkan Joshua untuk menghabisi satu keluarga, hanya karena si bapak mencuri hasil kemenangan perang. Horor terjadi dan setelah itu, Tuhan mencari jalan dan cara baru. Dengan itulah, tulis Dershowitz, "Hukum-hukum-Nya tumbuh dari pengalaman manusia dan Tuhan sendiri, bukan sekadar sebagai kata akhir." Dengan kata lain, keadilan adalah sebuah proses. Ia lahir dari laku. Ia tak berasal-usul, ia tak bersumber, juga tidak dari Tuhan sendiri. Tuhan juga bersama kita: mencari.


Sebab Tuhan, bagi Dershowitz, adalah Tuhan yang tidak otokratis, melainkan "dialogis", yang dalam Kitab Kejadian tampak bisa tawar-menawar dengan Ibrahim dan Musa. Tapi dengan Tuhan yang seperti itu, siapakah yang akhirnya menentukan? Pertanyaan ini tak dikemukakan, dan tak dijawab dalam The Genesis of Justice. Tapi ketika kini tak ada lagi Abraham, tak terdengar lagi Tuhan hadir dalam percakapan panjang antar manusia. Manusia pun akhirnya akan tegak sendiri. Cemas, mungkin gagah, tapi bisa salah.

**Sumber: Goenawan Mohamad, Catatan Pinggir NO. 15/XXIX/12 - 18 Juni 2000



Sebagai Orang Muda Katolik bagaimana Anda menemukan rumusan keadilan versi Tuhan?



Paroki St. Maria Tanjung Selamat Medan
http://paroki-stmaria.blogspot.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

"Fiat voluntas Tua!"